Kabinet

Pada masa ‘orde baru’ dua ekor anjing berjumpa, ”Apa kabar?” Dijawab, ”Cari makan susah!” Pada masa reformasi mereka kembali berjumpa, ”Apa kabar?” Dijawab, ”Cari makan tetap susah, tetapi kini saya bebas menyalak.”

Saya sadar, sedikit pun tidak memiliki pengaruh terhadap hak prerogatif presiden menyusun kabinet. Maka, saya menulis naskah ini sekadar sebagai ungkapan pendapat pribadi, mumpung sudah tidak ada menteri penerangan memberedel koran. Ibarat seekor anjing menyalak, mumpung bebas menyalak, tetapi sadar kafilah akan tetap berlalu.

Oleh Jaya Suprana

Secara keseluruhan, kabinet yang habis masa baktinya sudah berkinerja bagus, terutama kinerja para menteri perempuan. Menteri kesehatan berani dan tegas mengambil keputusan, termasuk yang tidak populer demi menanggulangi berbagai permasalahan pelayanan kesehatan rakyat Indonesia dengan cara Indonesia sendiri. Secara keseluruhan, mutu pelayanan kesehatan dapat dinilai membaik, kecuali di kawasan pelosok masih perlu ditingkatkan. Terakhir, menkes dengan gagah berani mempertanyakan hilangnya klausa tembakau dari UU Kesehatan.

Menteri perdagangan sangat bersemangat mengembangkan ekonomi kreativitas yang hasilnya dapat dirasakan secara nyata, seperti halnya kenaikan tiras penjualan batik berkat dukungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata hingga UNESCO. Mendag yang doktor ekonomi ini giat turun ke lapangan meninjau arus dan alur gerak perdagangan, mulai dari hulu sampai hilir. Perdagangan ke luar negeri juga digenjot melalui Badan Pengembangan Ekspor Nasional. Andaikata saya menjadi presiden, saya akan bilang ”lanjutkan!” kepada menteri perdagangan demi menuntaskan jerih payah perjuangan menempuh deru campur debu bepercik keringat, air mata, dan darah menuju masyarakat yang lebih adil dan makmur.

Apalagi menteri keuangan yang kini merangkap menteri koordinator perekonomian itu jelas tidak perlu diragukan kesaktimandragunaannya. Tentu tidak sembarangan apabila media internasional menobatkan sebagai salah seorang menteri keuangan terbaik di dunia masa kini. Di ujung akhir masa jabatan mendadak ada noda kisruh penyaluran dana ke sebuah bank yang semoga jangan menjadi setitik nila merusak susu sebelanga. Selama kekeliruan terbatas prosedur administratif, maka tiada alasan tidak memberi kesempatan bagi perempuan perkasa ini melanjutkan ikhtiar pembenahan keuangan negara.

Pemberdayaan perempuan

Putri sulung proklamator kemerdekaan memang mewarisi kearifbijaksanaan sang ayah. Menteri negara pemberdayaan perempuan secara arif bijaksana berusaha memberdayakan kaum perempuan Indonesia yang sebenarnya sudah tidak perlu diberdayakan lagi sebab sudah sangat berdaya, terbukti pada diri sang menteri sendiri maupun pada sekian banyak perempuan Indonesia yang telah berhasil menjadi pengusaha, cendekiawan, seniman, budayawan, politisi terkemuka, sampai wakil presiden yang kemudian menjadi presiden.

Kementerian yang didirikan Pak Harto pada masa Orde Baru untuk menyenangkan Ibu Tien dan para perempuan Indonesia, yang secara politis penting sebab jumlahnya lebih besar ketimbang para lelaki, sebenarnya di masa kini anakronis sebab pada kenyataan kaum perempuan Indonesia masa kini sudah berdaya bahkan paling berdaya dibandingkan dengan negara-negara berkembang maupun yang disebut maju di dunia masa kini.

Amerika Serikat saja terbukti masih belum berhasil mengangkat harkat dan martabat warga perempuannya menjadi presiden gara-gara Barack Obama. China, Jepang, Korea, apalagi Arab Saudi dalam hal pemberdayaan perempuan jauh tertinggal ketimbang Indonesia. Betapa indah apabila menteri negara pemberdayaan perempuan ”ditingkatkan” menjadi menteri keluarga. Departemen yang mengurusi keluarga tidak terbatas mengurusi kaum perempuan belaka, tetapi juga anak-anak dan kaum lelaki sebagai suami sang perempuan dan ayah sang anak-anak. Dengan mengganti menteri negara pemberdayaan perempuan menjadi menteri keluarga, dengan sendirinya paham diskriminasi jender di Indonesia akan makin luntur sebelum lenyap sama sekali.

Sementara Kak Seto tentu tidak keberatan jika departemen keluarga dilengkapi direktorat jenderal yang fokus melindungi hak-hak anak-anak Indonesia. Menjunjung tinggi kepentingan keluarga benar-benar sangat penting mengingat keluarga adalah soko guru negara dan bangsa. Menteri negara pemberdayaan perempuan yang sekarang ini adalah tepat untuk ditugaskan menteri keluarga.

Menteri kebudayaan

Sebagai pemerhati kebudayaan, saya pribadi senang jika ada menteri kebudayaan. Namun, istilah kebudayaan pada hakikatnya terlalu luas, mendalam, kompleks, dan rumit apalagi dalam skala kenegaraan Nusantara untuk mampu diurus oleh seorang menteri. Makna kebudayaan yang tepat dan benar bukan terbatas hanya kesenian, tetapi seperti menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi mutakhir adalah hasil kegiatan dan penciptaan (akal budi) manusia, seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat atau secara antropologis bisa juga bermakna keseluruhan (!) pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial untuk memahami lingkungan serta pengalamannya dan yang menjadi pedoman tingkah lakunya.

Berdasarkan makna secara umum maupun ilmiah, maka jangkauan kebudayaan merambah masuk ke bidang agama, sosial, iptek, ekonomi, militer, pendidikan, bahkan segenap bidang kehidupan masyarakat yang sebenarnya masing-masing sudah ada menterinya. Dikhawatirkan menteri kebudayaan tumpang tindih bahkan bertabrakan dengan menteri agama, pertahanan, sosial, ristek, pariwisata, pendidikan, keluarga, ekonomi, keuangan, perdagangan, komunikasi, perhubungan, dan lainnya.

Sebenarnya tugas kebudayaan sudah diemban presiden yang bertanggung jawab atas segenap aspek kehidupan masyarakat sebuah negara dan bangsa. Kecuali apabila tugas menteri kebudayaan memang sengaja (keliru) dibatasi hanya kesenian, maka silakan saja. Sebab, sampai saat ini kesenian memang masih dianaktirikan dalam hal kementerian. Dengan satu syarat, wewenang sang menteri yang mengurus kesenian wajib terbatas fasilitator, jangan sampai menjadi regulator apalagi diktator.

Jaya Suprana Budayawan

Sumber: Kompas, Sabtu, 17 Oktober 2009

Explore posts in the same categories: Artikel, Jaya Suprana, Politik

Leave a comment